Sejarah
Perkembangan Pemikiran Logika
1.
Sejarah
Perkembangan Pemikiran Logika Abad Yunani Kuno
Logika dimulai sejak Thales (624 SM – 548 SM),
filsuf Yunani pertama yang meninggalkan segala dongeng, takhayul, dan
cerita-cerita isapan jempol dan berpaling kepada akal budi untuk memecahkan
rahasia alam semesta. Thales mengatakan bahwa air adalah arkhe (Yunani) yang
berarti prinsip atau asa utama alam semesta. Saat itu Thales mengenalkan logika
induktif. Yang dimaksud logika induktif ialah penalaran yang berangkat dari
serangkaian fakta-fakta khusus untuk mencapai kesimpulan umum.[1]
Menurut sebagian kisah sejarah Zeno dari Citium (±
340-265) menyebutkan bahwa yang pertama kali menggunakan istilah logika adalah
tokoh Stoa Gorgias (± 483-375) dari Lionti (Sicilia) mempersoalkan masalah
pikiran dan bahasa, masalah penggunaan bahasa dalam kegiatan pemikiran.[2]
Sitematisasi logika terjadi pada masa Galenus (130M – 201M) dan Sextus
Empiricus 200M, dua dokter medis yang mengembangkan logika dengan menerapkan
metode geometri.[3]
Karya utama Galenus berjudul “Logika Ordine Geometrico Demonstrata”, tetapi
impian Galenus hanya terlaksana jauh kemudian, yakni dia akhir abad XVII
melalui karya Sacheri yang berjudul “Logica Demonstrativa”.
Sokrates (470-399) dengan metode Sokratesnya, yakni
ironi dan maieutika, de facto mengembangkan
metode induktif. Dalam metode ini dikumpulkan contoh dan peristiwa konkret
untuk kemudian dicari cirri umumnya.
Kaum Sofis beserta Plato (427 SM – 347 SM) juga
telah merintis dan memberikan saran-saran dalam logika. Plato mengembangkan
teori die, yakni teori Dinge an Sich versi Plato. Menurut Plato ide merupakan
bentuk “mulajadi” atau model yang bersifat umum dan sempurna yang disebut
“protoypa”, sedangkan benda individual duniawi hanya merupakan bentuk tiruan
yang tidak sempurna, yang disebut “ectypa”. Gagasan Plato ini banyak memberikan
dasar pada perkembangan logika, lebih-lebih masalah ideogenesis dan masalah penggunaan
bahasa dalam pemikiran.
Aristoteles mengembangkan logika menjadi teori
tentang ilmu. Dengan demikian logika episteme (logika ilmiah) sesungguhnya baru
dapat dikatakan terwujud berkat karya Aristoteles (384-322).[4]
Aristoteles merupakan filsuf pertama yang menyusun logika sebagai sebuah ilmu
tentang hukum-hukum berpikir guna memelihara jalan pikiran dari setiap
kekeliruan. Logika sebagai ilmu baru pada waktu itu, disebut dengan nama
“analitika”, yang secara khusus meneliti berbagai argumentasi yang berangkat
dari proposisi yang benar, dan “dialektika” yang secara khusus meneliti
argumentasi yang berangakt dari proposisi yang masih diragukan kebenerannya,
inti dari logika Aristoteles adalah Silogisme.[5]
Kumpulan karya tulis Aristoteles mengenai logika
diberi nama “Organon”, terdiri atas enam buku. Buku tersebut adalah Categoriae (mengenai
pengertian-pengertian), De Interpretatiae
(mengenai keputusan-keputusan), Analitica
Prora (tentang Silogisme), Analitica
Posteriora (mengenai pembuktian), topika
(mengenai berdebat) dan De Sphisticis
Elenchis (mengenai kesalahan-kesalahan berpikir). Buku-buku inilah yang
menjadi dasar Logika Tradisional, karya Aristoteles ini dikenal didunia barat
selengkapnya ialah sesudah berlangsung penyalinan-penyalinan yang sangat luas
dari sekian banyak ahli pikir Islam ke dalam bahasa Latin.
Penyalinan-penyalinan yang luas itu membukakan masa dunia barat kembali akan
alam pikiran Grik Tua.[6]
Pada 370 SM-288 SM Theoprostus, murid Aristoteles
yang menjadi pemimpin Lyceum melanjutkan pengembangan logika. Theophratus
memberi sumbangan terbesar dalam logika ialah penafsirannya tentang pengertian
yang mungkin dan juga tentang sebuah sifat asasi dari setiap kesimpulan,
kemudian Porphyrius (233 – 306 SM) seorang ahli piker di Iskandariah menambahkan
saatu bagain baru dalam pelajaran logika bagian baru ini disebut Eisogage,
yakni sebagai pengantar Categorie. Dalam bagian baru ini dibahas
lingkungan-lingkungan zat dan lingkungan-lingkungan sifat di dalam alam, yang
biasa disebut dengan kalisfikasi.[7]
Kemudian muncullah zaman dekadensi logika. Selama
ini logika mengembang karena menyertai perkembangan pengetahuan dan ilmu yang
menyadari betapa berseluk beluknya kegiatan berpikir yang setiap langkahnya
mesti dipertanggung jawabkan. Kini ilmu menjadi dangkal sifatnya dan sangat
sederhana, maka logika juga merosot. Tetapi beberapa karya pantas mendapat
perhatian kita, yakni eisagogen dari Parphyrios, kemudian komentar-komentar
dari Boethius dan Fons Scientiae (sumber ilmu) karya Johannes Damascenus.
2.
Sejarah Perkembangan Pemikiran Logika Abad Pertengahan
Pada
mulanya (abad 9) hingga tahun 1141, logika dikembangkan
hanya berkisar pada karya Aristoteles saja yang berjudul Kategorial
(menguraikan pengertian-pengertian) dan De Interpretation (tentang
keputusan-keputusan). Dari karya tersebut ditambah dengan karya Porphyrios yang
bernama Eisagogen dan traktat Boethius yang didalamnya mencakup masalah,
pembagian masalah metode debat, dan silogisme categories hipotetis yang biasa
disebut logika lama.
Sesudah
tahun 1141, keempat karya Aristoteles lainnya dikenal lebih luas dan disebut sebagai logika baru. Logika
lama dan baru kemudian disebut dengan logika antik dengan tujuan untuk
membedakannya dari logika terministis atau biasa dikenal dengan logika modern,
dan bisa juga disebut dengan logika suposisi yang tumbuh berkat pengaruh para
filsuf Arab, seperti: Al-Farabi, Imam Ghazali dan lain-lain. Didalam logika ini
ditunjukkan pentingnya pengalaman tentang suposisi, yang mana dalam suposisi
tersebut menerangkan kesestan berfikir yang logis dan tekanan yang terletak
pada ciri-ciri term sebagai simbol tata bahasa dari berbagai konsep.[8]
Pada
masa penerjemahan ilmu-ilmu Yunani ke dalam dunia Arab yang dimulai pada abad
II Hijriah logika merupakan bagian yang amat menarik minat kaum muslimin.
Selanjutnya logika dipelajari secara meriah dalam kalangan luas, menimbulkan
berbagai pendapat dalam hubungannya dengan masalah agama, Ibnu Salih dan Imam
Nawawi menghukumi haram mempelajari Mantiq sampai mendalam. Al-Ghazali
menganjurkan dan menganggap baik, sedangkan menurut Jumhur Ulama membolehkan
bagi orang-orang yang cukup akalnya dan kokoh imannya.
Filosof
al-Kindi mempelajari dan menyelidiki logika Yunani secara khusus dan studi ini
dilakukan lebih mendalam oleh al-Faribi (873-950 SM). Ia mengadakan
penyelidikan mendalam atas lafal dan menguji kaidah-laidah mantiq dalam
proposisi-proposisi kehidupan sehari-hari untuk membuktikan benar salahnya,
merupakan suatu tidnakan yang belum pernah dilakukan sebelumnya.[9]
Ahli
logika pertama dari abad pertengahan adalah Petrus Abelardus (1079-1142). Ia
merekonstruksi dan memperhalus logika Aristoteles serta Chrysippus, Abelardus
juga menghasilkan teori tentang sifat-sifat universal yang melacak ciri
universal dari term umum pada konsep-konsep dalam pikiran dari pada sifat-sifat
yang berbeda diluar pikiran. Abelardus juga membedakan argumen yang valid dari
bentuknya dibandingkan argumen yang valid dari isinya. Seperti: seluruh kuda
mempunyai jantung.[10]
Konsep
logika dan bahasa sebagai metode juga muncul pada abad pertengahan ini. Mulai
dikenal dengan metode induktif dan deduktif. Ashworth dalam
bukunya Language and logic (2006: 73-96) sempat meneliti bahwa bahasa dan
logika memiliki tujuan yang jelas. Keduanya berfungsi memebntuk dan menyatakan
kebenaran, sehinga orang bisa bergerak maju dalam membentuk pengetahuan baru.
Pada perkembangannya, logika inilah kemudian akan menjadi pondasi pemikrian
dalam pengembangan ilmu pengetahuan modern.[11]
Thomas
Aquinas (1224-1274) mengusahakan sistematis dan mengajukan komentar-komentar
dalam usaha mengembangkan logika yang telah ada. Thomas Aquinas berhasil
meletakan dasar logika dalam teologi Kristen dengan mengkombinasikan doktrin
katolik dengan filsafat Yunani Aristotles. Pemikirannya dikenal
lebih optimistik dan rasional tentang kondisi manusia. Baginya ketika manusia
itu menjadi rasional, maka ia punya kapasitas untuk mengikuti perintah Tuhan
dengan penuh kesadaran.[12]
Abad
pertengahan mencatat berbagai pemikrian yang sangat penting bagi perkembangan
logika. Karya Boethius orisinal dibidang silogisme hipotesis berpengaruh bagi
perkembangan teori konsekuensi yang merupakan salah satu hasil terpenting dari
perkembangan logika di Abad Pertengahan. Kemudian dapat dicatat juga toeri
tentang cirri-ciri term, teori supsosisi yang jika diperdalam ternyat alebih
kaya dari simiotika matematik zaman kini. Selanjutnya, diskusi tentang
universalia, munculnya logika hubungan, penyempurnaan teori silogisme,
penggarapan logika model, dan lain-lain penyempurnaan teknis.
3.
Sejarah
Perkembangan Pemikiran Logika Abad Modern
Pada abad XII-XV
berkembanglah logika seperti abad
Yunani kuno dan abad petengahan yang disebut abad modern. Tokohnya adalah
Petrus Hispanus, Roger Bacon, William Ockham dan Raymond Lullus
yang menemukan metode logika baru yang disebut “Ars Magna”, yakni semacam
aljabar pengertian dengan tujuan untuk membuktikan kebenaran-kebenaran
tertinggi.
Perkembangan dan penggunaan logika Aristoteles
secara murni dilanjutkan oleh sebagian pemikir, tetapi dengan tekanan- tekanan
yang berbeda. Thomas Hobbes (1588-1679) dengan karyanya “Leviatan” (1651) dan
John Locke (1632-1704) dalam karyanya yang berjudul “Essay Corcerning Human
Understanding” (1690). Meskipun mengikuti tradisi Aristoteles, tetapi doktrin-doktrinnya
sangat dikuasai paham nominalisme. Pemikiran dipandang sebagai suatu proses
manipulasi tanda-tanda verbal dan mirip operasi-operasi dalam matematika, kedua
tokoh ini memberikan suatu interpretasi tentang kedudukan bahasa di dalam
pengalaman.[13]
Francis Bacon (1561-1626) mengembangkan logika
induktif yang diperkenalkan dalam bukunya “Novum Organum Scientiarum” (London,
1620).[14]
Metode induktif untuk menemukan kebenaran yang direncanakan Francis Bacon
didasarkan pada pada pengamatan empiris, analisis data yang diamati,
penyimpulan yang terwujud dalam hipotesis (kesimpulan sementara) dan verifikasi
hipotesis melalui pengamatan dan eksprimin lebih lanjut penghalang bagi metode
ini adalah prakonsepsi dan prasangka yang dikelompokkan kedalam empat klasifikasi,
yakni:
a. The
Idols of the Tribe. Sumber kesesatan ini pada hakikatnya berdasarkan pada
kodrat manusi sendiri, pada ras manusia, misalnya bahwa manusia hanya mempunyai
lima indera dan tidak lebih.
b. The
Idols of the Cave. Setiap orang, di samping dikurung oleh kesesatan-kesesatan
yang umum juga dikurungng oleh kurunganya sendiri, seperti jiwa manusia
merupakan sesuatu yang berubah-ubah, penuh gangguan, dan seakan-akan diperintah
oleh kemungkinan yang tidak pasti.
c. The
Idols of the Market Place. Disebabkan seseorang tidak membuat pembatasan pada
term-term yang dipakai umtuk berpikir dan berkomunikasi.
d. The
Idols of the Theatre. Yanki sikap menerima secara membuta terhadap tradisi
otoritas.[15]
Gottfried Wilhem van Leibnez (1646-1716)
menganjurkan penggantian pernyataan-pernyataan dengan simbol-simbol agar lebih
umum sifatnya dan lebih mudah melakukan analisis. Demikian juga Leonard Euler,
seorang ahli matematika melakukan pembahasan tentang term-term dengan
menggunakan lingkaran-lingkaran untuk melukiskan hubungan antar term yang
terkenal dengan sebutan “Circle Euler”.
John Stuart Mill (1806-1873) mempertemukan sistem
induksi dengan system deduksi. Setiap pangkat pikir besar di dalam deduksi
memerlukan induksi dan sebaliknya induksi memerlukan deduksi bagi penyusunan
pikiran mengenai hasil-hasil eksprimen dan penyelidikan. Jadi kedua-duanya
bukan merupakan bagian-bagian yang saling terpisah, tetapi sebetulnya saling
membantu.[16]
Rumusan metode induktif J. S. Mill dimaksudkan untuk
menemukan hubungan kausal antara fenomena (gejala). Mill merumuskan sebab suatu
kejadian sebagai seluruh jumlah kondisi posistif dan negatif yang diperlukan.
Metodenya adalah:
a.
Metode
mencocokkan (Method of agreement)
b.
Metode
membedakan (Method of difference)
c.
Metode
mencocokkan dan membedakan (Join method
of agreement and difference)
d.
Metode perubahan
selang seling yang seiring (Method of
conmitant variations)
e.
Metode
menyisikan (Method of residues)
Metode mencocokkan, metode membedakan, dan metode
mencocokkan membedakan pada hakikatnya adalah eleminatif.[17]
Logika formal sesudah masa Mill lahirlah sekian
banyak buku-buku baru dan ulasan-ulasan baru tentang logika. Dan sejak
pertengahan abad ke-19 mulai lahir satu cabang baru yang disebut dengan logika
simbolik. Pelopor logika simbolik pada dasarnya sudah dimulai oleh Leibniz,[18]
karena Ia melihat keterbatasan logika Aristoteles. Menurutnya suatu bahasa
universal akan dapat dibentuk, jika suatu sistem simbol yang tepat dapat
diciptakan. Setiap simbol mempunyai satu arti, segala sesuatunya dapat diungkapkan
dalam simbol tertentu. Hanya dengan begitu, kita dapat memiliki bahasa ilmiah
sempurna dan segalanya yang berarti dua dapat dihindarkan.[19]
Logika simbolik pertama dikembangkan oleh George
Boole (1815-1864) dan Augustus De Morgan. Boole secara sistematik dengan
memakai simbol-simbol yang cukup luas dan metode analisis menurut matematika,
dan Augustus De Morgan (1806-1871) merupakan seorang ahli matematika Inggris
memberikan sumbangan besar kepada logika simbolik dengan pemikirannya tentang
relasi dan negasi. Ia lebih-lebih dikenal karena dalil rangkapnya: negatifnya
suatu jumlah adalah hasil negatifnya unsure-unsur, negatifnya suatu hasil
adalah jumlah negatifnya faktor-faktor.
Tokoh logika simbolik yang lain ialah John Venn
(1834-1923), ia berusaha menyempurnakan analisis logika dari Boole dengan
merancang diagram lingkaran-lingkaran yang kini terkenal sebagai diagram venn
(Venn’s diagram) untuk menggambarkan hubungan-hubungan dan memeriksa sahnya
penyimpulan dari silogisme. Untuk melukiskan hubungan merangkum atau
menyisihkan diantara subjek dan predikat yang masing-masing dianggap sebagai
himpunan.
Perkembangan logika simbolik mencapai puncaknya pada
awal abad ke-20 dengan terbitnya 3 jilid karya tulis dua filsuf besar dari
Inggris Alfred North Whitehed (1861-1914) dan Bertrand Arthur William
(1872-1970) berjudul Principia Mathematica (1910-1913) dengan jumlah 1992
halaman. Karya tulis Whitehed dan Russel Principia Mathematica memberikan
dorongan yang besar bagi pertumbuhan logika simbolik.[20]
Sekarang tokoh yang banyak menggarap logika dalam
abad XX ini adalah Rudolf Carnap. Karyanya lebih diarahkan pada penggarapan
logika formal dan penerapannya pada masalh-masalah epistemologi dan filsafat
ilmu. Tulisan-tulisannya mencakup suatu pasangan tentang logika matematika dan
suatu monografi tentang sintaksis logika, suatu cabang baru penelitian dalam
bidang logika. Metode analisis logis diterapkan pada bahasa sehari-hari dan
bahasa ilmu.[21]
Perbedaan logika zaman Yunani kuno, abad
pertengahan, dan abad modern ialah pada zaman Yunani kuno masih menggunakan
metode sendiri-sendiri, seperti sokrates dengan metode sokratesnya yaitu ironi
dan maieutika. Sedangkan pada abad pertengahan sudah berkembang suposisi term,
proposisi, kalimat, silogisme, dan premis. Serta pada abad modern sudah mulai
berkembang logika simbolik yang sekarang sudah dikenal dengan matematika.[22]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar