1. Pengertian Nasakh
Belum ada kesepakatan diantara para ulama mengenai pengertian nasakh, baik menurut bahasa ataupun istilah, sehingga masih ada beberapa pengertian untuk masing-masingnya.
Nasakh merupakan mashdar dari lafadنَسَحَ - يَنْسَحُ - نَسْحًا yang isim fa’ilnya adalah nasikh. Kata nasakh menurut bahasa ada 4 macam :
a. Menghapus/meniadakan (Al-Izaalah Wal I’daam)
Kata nasakh itu berarti menghapuskan sesuatu atau menghilangkannya. Contohnya, seperti kalimat:
نَسَخَ الشَّيْبُ الشُّبَّانَ
Uban itu telah menghilangkan kemudaan.
Dalam al-Qur’an juga ada contoh kata “nasakh” yang berarti menghapuskan (meniadakan) seperti ini, yaitu seperti dalam firman Allah SWT:
•
Artinya:
“Dan kami tidak mengutus sebelum kamu seseorang rasul pun dan tidak (pula) seorang nabi, melainkan apabila ia membaca (ayat-ayat kami), tentu setan pun memasukkan (keragu-raguan) kepada (pendengarnya) tentang bacaannya itu, maka Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh setan itu kemudian Allah menguatkan ayat-ayat-Nya”. (Q.S. Al-Hajj: 52)
b. Memindahkan sesuatu yang tepat kesana yang tetap sama (At- Tahwiilu Ma’a Baqaa’ihu fi Nafsikh)
Nasakh itu berarti memindahkan suatu barang dari suatu tempat ke tempat lain, tetapi barang itu tetap saja sama. Contohnya seperti kalimat :
تَنَاسَخَ الطُّلاَّبُ مِنْ كُلِّيَّةِ اِلَ كُلِّيَّةِ
para mahasiswa itu saling/sering berpindah dari satu fakultas ke fakultas lain.
Para ulama tidak menemukan dalam al-Qur’an yang menjelaskan tentang al-Tahwil.
c. Menyalin/mengutip (An-Naqlu Min Kitaabin Ilaa Kitaabin)
Nasakh diartikan dengan menyalin/mengutip tulisan dari satu buku ke dalam buku lain, dengan tetap adanya persamaan antara salinan/kutipan dengan yang disalin/dikutip. Contohnya seperti kalimat نَسَخْتُ الدَّرْسُ (saya menyalin pelajaran itu). Salinan pelajaran itu tentu sama dengan yang disalin.
Contoh dalam ayat al-Qur’an:
•
Artinya :
“Inilah kitab (catatan) Kami yang menuturkan kepada kalian dengan benar, karena sesungguhnya Kami telah menyuruh mencatat (mengutip) apa yang tidak kalian kerjakan”. (Q.S. Al-Jaatsiyah: 29)
d. Mengubah/membatalkan (At-Taghyir wal Ibthaal)
Nasakh diartikan dengan mengubah sesuatu ketentuan/hukum, dengan cara membatalkan ketentuan hukum yang ada, diganti dengan hukum baru yang lain ketentuannya. Contohnya, seperti kalimat:
نُسِخَتِ الْوَصِيَّةُ لِلْاَقْرَبِيْنَ بِأَيَةِ الْمَوَارِثِ
Hukum wasiat kepada sanak kerabat itu dihapuskan oleh ayat-ayat tentang waris.
Contoh dalam ayat al-Qur’an:
•
Artinya:
“Ayat apa saja yang Kaminasakhkan atau Kami jadikan (manusia) melupakannya, tentu Kami datangkan yang lebih baik darinya atau yang sebanding dengannya. Tidaklah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah itu kuasa atas segala sesuatu?”. (Q.S. Al-Baqarah: 106)
Pengertian nasakh menurut istilah ialah mengubah ketentuan hukum/peraturan dengan cara membatalkan hukum/peraturan yang pertama diganti dengan yang baru, yang lain ketentuannya.
2. Syarat-Syarat Nasakh
Dari paparan pengertian nasakh menurut bahasa dan istilah, dapat disimpulkan bahwa untuk adanya nasakh itu disyaratkan empat hal, sebagai berikut:
a. Hukum yang dinasakh harus berupa hukum syarak, bukan hukum lain, seperti hukum akal atau hukum buatan manusia. Yang dimaksud hukum syarak ialah titah Allah SWT (dan sunah Rasulullah SAW) yang berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf, baik secara mewajibkan atau melarang atau menyuruh memilih.
b. Dalil yang menghapuskan hukum syarak itu harus berupa dalil syarak. Tidak boleh berupa dalil akal. Yang dimaksud dengan dalil syarak ialah dalil al-Qur’an, hadits, ijmak, dan kias.
c. Adanya dalil baru yang menghapus itu harus setelah ada tenggang waktu dari dalil hukum yang pertama. Maksudnya, antara dalil yang menetapkan hukum dengan dalil pertama itu harus telah ada tenggang waktu beberapa saat setelah dalil pertama itu datang dan berlaku, baru kemudian datang dalil baru mengubah dan menggantikannya. Karena itu, dalam penegasan, bahwa kalau sekiranya tidak ada nasakh, maka ketentuan hukum yang pertama itu akan tetap berlaku terus.
d. Antara dua dalil nasikh dan mansukh itu harus ada pertentangan yang nyata, sehingga benar-benar tidak dapat diketemukan. Sebab, sebenarnya nasakh itu adalah keadaan yang terpaksa, sebagai jalan keluar/ pemecahan masalah yang tidak dapat diatasi, kecuali dengan ketentuan baru, yang baru datang.
3. Pengertian Nasikh
Nasikh menurut bahasa berarti sesuatu yang menghapuskan, menghilangkan, atau yang memindahkan atau yang mengutip serta mengubah dan mengganti. Jadi, hampir sama dengan pengertian nasakh menurut bahasa seperti yang telah diterangkan di atas. Bedanya, nasakh itu kata masdar, sedangkan nasikh ini isim fa’il, sehingga berarti pelakunya.
Sedangkan pengertian nasikh menurut istilah, ada dua macam, yaitu:
a. Nasikh ialah hukum syarak atau dalil syarak yang menghapuskan/ mengubah hukum/ dalil syarak yang terdahulu dan menggantinya dengan ketentuan hukum baru yang di bawahnya.
b. Nasikh itu ialah Allah SWT. Artinya, bahwa sebenarnya yang menghapus dan menggantikan hukum-hukum syarak itu pada hakikatnya ialah Allah SWT, tidak ada yang lain. Sebab, dalam hukum syarak itu hanya dari Allah SWT, tidak dari yang lain, dan juga tidak diubah atau diganti oleh yang lain . Hal ini sesuai dengan keterangan al-Qur’an:
Artinya:
“Sesungguhnya tiada hukum selain dari Allah”.
(Q.S. Al-An’am: 57)
Dan sesuai pula dengan penegasan Allah SWT, dalam firman-Nya:
•
Artinya:
“Apa saja ayat yang Kami nasakhkan atau yang Kami jadikan (manusia)melupakannya, tentu Kami datangkan yang lebih baik darinya, atau yang sebanding dengannya”. (Q.S. Al-Baqarah:106)
4. Pengertian Mansukh
Mansukh menurut bahasa berarti sesuatu yang dihapus/ dihilangkan/ dipindah atau pun disalin/ dinukil. Sedangkan menurut istilah para ulama, mansukh ialah hukum syarak yang diambil dari dalil syarak yang pertama, yang belum diubah dengan dibatalkan dan diganti dengan hukum dari dalil syarak baru yang datang kemudian.
Tegasnya, dalam mansukh itu adalah berupa ketentuan hukum syarak pertama yang telah diubah dan diganti dengan yang baru, karena adanya perubahan situasi dan kondisi yang menghendaki perubahan dan penggantian hukum tadi.
B. Persamaan dan Perbedaan Nasakh dengan Takhshish
Sebelum mengetahui persamaan dan perbedaan nasakh dengan takhshish terlebih dahulu menjelaskan pengertian dari takhshish itu sendiri yaitu upaya membatasi sesuatu hanya pada sebagian dari bagian-bagian yang ada, seperti keumuman lafal atau menentukan kemutlakan artinya .
1. Persamaan Nasakh dan Takshish
a. Nasakh seolah-olah sama seperti takshish yaitu sama-sama membatasi sesuatu ketentuan hukum dengan batasan waktu, sedangkan takhshish dengan batasan materi.
b. Nasakh sama dengan takshish dalam hal sama-sama membatasi berlakunya sesuatu ketentuan hukum syarak. Nasakh menghapus dan mengganti ketentuan hukum-hukum syarak, sedang takhshish membatasi keumuman jangkauan hukum syarak.
c. Dalil yang menasakh sama dengan dalil yang menakhshish, yaitu sama-sama berupa dalil syarak.
2. Perbedaan Nasakh dengan Takhshish
a. Lafal ‘am (umum) setelah ditakhshish/dibaasi, akan menjadi samar jangkauannya, karena bentuknya masih tetap umum, tetapi jangkauannya sudah terbatas sehinga sudah tidak bisa diketahui secara pasti lagi, apa saja yang masih dijangkau oleh lafal yang telah ditakhshish itu.
b. Ketentuan hukum yang dikecualikan dengan takhshish sudah sejak semula memang tidak dikehendaki sama sekali. Sedangkan ketentuan hukum yang dihapuskan dengan nasakh, mulanya dikehendaki dan diberlakukan untuk beberapa saat lamanya. Tetapi setelah ada perubahan situasi dan kondisi yang terjadi, maka ketentuan hukum tersebut dihapuskan dan tidak diberlakukan lagi.
c. Nasakh itu membatalkan itu membatalkan kehujjahan hukum yang dimansukh, sedangkan takhsihsh tidak membatalkan, melainkan hanya membatasi jangkauannya saja, sedangkan ketentuan hukumnya tetap berlaku bagi yangtidak dikecualikan dengan pembatasan.
d. Nasakh itu tidak dapat terjadi, kecuali dalam Alquran dan sunah, sedankan takhshish bisa saja terjai dalam Alquran dan sunah ataupun dalam hukum lain diluar hukum Alquran dan sunah tersebut
e. Nasakh itu dalil nasikhnya harus datang kemudian setelah ketentuan dari dalil yang pertama itu belaku lebih dahulu, lalu dihapuskan. Atau seperti dalam definisi disebutkan dengan Maat Taraakhis (dengan tenggang waktu). Sedangkan dalam takhshish, dalil yang menakshish atau mukhashsishnya boleh datang bersamaan dengan dalil yang ditakhshish, seperti dalam contoh ayat 1-3 surah Al-‘Ashar dan boleh juga datang kemudian, seperti ayat 228 ayat Al-Baqarah dengan ayat 237 surah yang sama, dan sebagainya.
C. Macam-Macam dan Jenis-Jenis Nasakh
1. Macam-Macam Nasakh
Adapun macam-macam nasakh yang terjadi dalam al-Qur’an itu ada tiga macam , sebagai berikut:
a. Menasakh bacaan ayat dan hukumnya sekaligus (Naskhut Tilaawati).
Yaitu, menghapuskan bacaan ayat dan hukum isinya sekali, sehingga bacaan ayatnya sudah tidak ada bahkan tulisan lafal ayanya pun sudah tidak ada pula, dan hokum ajarannya pun telah dihapus dan diganti dengan ketentuan lain. Contohnya seperti penghapusan ayat yang mengharamkan kawin dengan saudara sepersusuan karena bersama-sama menetek kepada seorang ibu dengan sepuluh kali susuan, yang dinasakh dan diganti dengan lima kali susuan.
b. Menasakh hukumnya tanpa menasakh bacaannya ( Naskhul Hukmi Duunat Tilawaati).
Yakni, tulisan dan bacaan ayatnya masih boleh dibaca, tetapi isi hukum ajarannya sudah dinasakh, sudah dihapuskan dan diganti dengan yang lain, sehingga sudah tidak boleh diamalkan lagi.
Contohnya seperti ayat al-Qur’an:
••
Artinya:
“Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kalian dan meninggal beberaa istri, hendaklah berwasiat untuk istri-istrinya itu, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dengan tidak disuruh pindah”. (Q.S. Al-Baqarah: 240)
Allah SWT menasakh hukum ayat tersebut, sehingga keharusan idah satu tahun sudah tidak berlaku lagi, meski lafal nash ayatnya masih tetap ada dan boleh dibaca. Lalu diganti dengan ketentuan hukum dari ayat al-Qur’an:
Artinya:
“Dan orang-orang yang meninggal dunia di antara kalian dengan meninggalkan istri-istri,(maka hendaklah istri-istri itu) menangguhkan diri mereka (beribadah) selama empat bulan sepuluh hari”. (Q.S. Al-Baqarah: 234)
Dari turunnya ayat 234 surah Al-Baqarah ini, maka ayat 240 Al-Baqarah yang tulisan dan bacaannya masih tetap ada itu, hukum isinya yaitu idah satu tahun bagi wanita yang cerai mati itu sudah tidak berlaku lagi, sudah dihapus dan diganti dengan idah 4 bulan 10 hari saja.
c. Menasakh bacaan ayat tanpa menasakh hukumnya (Naskhut Tilaawati Duunal Hukmi).
Yakni tulisan ayatnya sudah dihapus, sehingga sudah tidak dapat dibaca lagi, tetapi hukum isinya masih tetap berlaku dan harus diamalkan. Dalil yang menetapkan adanya nasakh macam ini ialah hadits dari Umar bin Khaththab dan Ubay bin Ka’ab yang berkata:
كَانَ فِيْمَا اُنْزِلَ مِنَ الْقُرْانِ الشَّيْخَ وَالشَّيْخَةَ اِذَا زَنِيَا فَارْجُمُوْهُمَا الْبَتَّةَ نَكَا لاً مِنَ اللّهِ
Artinya:
“Termasuk dari ayat al-Qur’an yang diturunkan ialah ayat (yang artinya): Orang tua laki-laki dan orang tua perempuan itu kalau keduanya berzina, maka rajamlah (dihukum lempar batu sampai mati) sekaligus sebagai balasan dari Allah”.
Kalau dicari di seluruh surah al-Qur’an, ketentuan tersebut sudah tidak akan diketemukan lagi, karena memang sudah dinasakh. Tetapi hukum rajam bagi orang tua yang berzina, isi dari ayat tadi itu masih tetap berlaku, meski ayatnya sudah tidak ada lagi dari yang membaca atau yang menghafalnya.
2. Jenis-Jenis Nasakh
Adapun jenis-jenis nasakh itu ada empat , sebagai berikut:
a. Nasakh Alquran (Naskhul Qur’ani bil Qur’aani)
Naskah ini disepakati oleh seluruh orang yang menyetujui nasakh mengenai kebolehannya terjadi nasakh. Contohnya seperti ayat 12 surah Al Mujadilah yang dinasakh dengan ayat 13 surah Al-Mujadilah,
•
Artinya :
“Hai orang-orang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum pembicaraan itu. yang demikian itu lebih baik bagimu dan lebih bersih; jika kamu tidak memperoleh (yang akan disedekahkan) Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S Al-Mujadilah: 12)
•
Artinya :
“Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) Karena kamu memberikan sedekah sebelum mengadakan pembicaraan dengan Rasul? Maka jika kamu tiada memperbuatnya dan Allah Telah memberi Taubat kepadamu Maka Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (Q.S Al-Mujadilah: 13)
b. Nasakh Al-Qur’an dengan sunah (Naskhul Qur’aani bis Sunnati)
Nasakh ini boleh, baik sunah yang ahad atau mutawatir. Nasakh dengan hadis ahad tidak diperoleh oleh Jumhur Ulama. Sebab, Al-Qur’an adalah mutawatir datangnya, sehingga memberi faedah yang meyakinkan. Sedangkan hadis ahad itu hanya membeirkan faedah yang dzanni (dugaan) saja. Karena itu, tidak boleh menghapuskan hukum yang “meyakinkan” dengan dalil yang “dugaan” saja. Adapun hukum nasakh dengan hadits mutawatir itu menurut Jumhur ulama diperbolehkan, karena kedua-duanya itu wahyu Allah SWT. Hal ini sesuai dengan keterangan ayat-ayat sebagai berikut:
Artinya :
“Dan tiadalah yang diucapkan itu (Alquran) menurut kemauan hwa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadaNya) (Q.S An-Najm: 3-4)
c. Nasakh sunah dengan Al-Qur’an (Naskhul Sunnah bil Qur’aani)
Nasakh ini menghapuskan hukum yang ditetapkan berdasarkan sunah diganti dengan hukum yang didasarkan dengan Al-Qur’an. Nasakh jenis ini diperbolehkan oleh Jumhur Ulama. Contohnya seperti berpuasa wajib pada hari Asy-syura.
d. Nasakh sunah dengan sunah (Naskhus Sunah bis Sunnah)
Yaitu hukum yang ditetapkan berdsarkan dalil sunah dinasakh dengan dalil sunah pula
Dalam nasakh ini ada empat kemungkinan, yaitu :
1) Nasakh sunah yang mutawatirah dengan yang mutawatirah (Naskhus Sunanti Al-Mutawaarati bil Mutawatirati)
2) Nasakh sunah yang ahad dengan yang ahad (Naskhus Sunnati Al-Ahaadi bil Ahaadi)
3) Nasakh sunah yang ahad dengan yangmuawatir (Naskhus Sunnati Al-Ahaadi bil Mutawaatirati)
4) Nasakh sunah mutawatirah dengan yang ahad (Naskhus Sunnati Al-Mutawaatirati bil Ahaadi)
D. Cara Mengetahui Nasakh
Untuk mengetahui nasakh ada dua dalil syarak yang bertentangan antara yang satu dengan yang lain secara nyata, yang tidak dapat dikompromikan, sehingga tidak ada jalan lain, kecuali menentukan salah satu dalil itu sebagai nasikh (yang menghapuskan) dan yang lain sebagai yang dihapus. Hal itu perlu guna menghindari adanya pertentangan dalam firman syarak yang Maha Bijaksana.
Ada tiga cara untuk mengetahui ketentuan dalil yang datang duluan atau kemudian , yaitu sebagai berikut:
1. Dalam salah satu dalil nashya harus ada yang menentukan datangnya lebih belakangan dari dalil yang lain. Contohnya seperti dalam ayat 13 Surah Al-Mujadilah.
2. Harus ada kesepakatan (ijmak) para imam dalam suatu masa dari sepanjang waktu yang menetapkan, bahwa salah satu dari dua dalil itu datang lebih dahulu dan yang lain datang kemudian. Maksudnya, jika ketentuan datangnya dalil-dalil itu dapat diketahui dari kalimat-kalimat dalil itu sendiri, maka harus ada ijmak ulama yang menetapkan hal tersebut.
3. Harus ada riwayat sahih dari salah seorang sahabat yang menentukan mana yang lebih dahulu dari kedua dalil nash yang saling bertentangan tadi.
E. Pendapat Para Ulama tentang Nasakh
Ada dua golongan ulama yang berbeda pendapat dan haluan, baik dari kalangan Mutaqaddimin maupun muta’akhirin, mengenai Nasikh wa al-mansukh. Pertama, golongan yang membenarkan danya nasikh wa al-mansukh dalam Al-Qur’an. Kedua golongan yang menolak adanya nasikh wa al-mansukh itu.
Kelompok pertama yakni membenarkan adanya nasikh wa al mansukh dalam al-Qur’an dipelopori oleh asy-Syafii, an-Nahhas, as-Suyuti, dan asy-Syaukani. Mereka bersandar pada firman Allah SWT berikut
•
Artinya :
“Ayat mana saja yang kami nasakhkan, atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?” (Q.S Al Baqarah: 106)
Golongan kedua adalah kelompok ulama yang menyatakan bahwa dalam al-Quran tidak ada nasikh wa al-mansukh. Kelompok “penentang” konsep nasikh wa al-mansukh ini dipelopori oleh Abu uslim al-Ishafahani, al-Fakhrusi dan Sykeh Muhammad Abduh. Menurut Al-Fashani, tak seorang pun dapat atau berhak mengubah firman Allah. Kita wajib beriman bahwa diantara Al-Qur’an tidak ada pembatalan (nasikh) karena semua ayat sudah tetap (muhkam) dan wajib diamalkan. Selain itu, seperti yang diungkapkan oleh az-Zarqani, terdapat ulama ushul fiqh dan ulama tafsir yang mengemukakan pendapat tertentu, antara lain, Ibnu Katsir, al-Maraghi, asy-Syarthibi dan asy-Sayfi’i .
F. Hikmah yang ada pada nasakh
Adapun hikmah yang terdapat pada nasakh antara lain sebagai berikut:
1. Mengukuhkan keberadaan Allah, bahwa Allah takkan pernah terikat dengan ketentuan-ketentuan yang sesuai dengan logika manusia, sehingga jalan pikiran manusia takkan pernah bisa mengikat Allah SWT. Allah mampu melakukan apa saja, sekalipun menurut manusia hal tersebut tidak logis. Tetapi Allah akan menunjukkan, bahwa kehendakNya lah yang akan terjadi, bukan kehendak kita. Sehingga diharapakn dari keberadaan nasakh dan mansukh ini akan mampu meningkatkan keimanan kita kepada Allah SWT bahwa Dialah yang Maha Menentukan.
2. Dengan nasakh dan mansukh ini diharapkan pula kita akan mempunyai prediksi dan pengertian bahwa Allah itu memang adalah zat yang Maha Bijak, Maha Kasih, Maha Sayang, bahkan “arhamurrahimin”, yaitu lebih kasih daripada yang berhati kasih dan lebih sayang daripada siapa saja yang berhati sayang. Mengapa? Karnea memang pada kenyataannya hukum-hukum nasakh dan mansukh tersebut semuanya demi untuk kemaslahatan dan kebaikan kita.
3. Memelihara kemaslahatan hamba
4. Perkembangan tasyri’ menuju tingkat sempurna sesuai dengan perkembangan dakwah dan kondisi umat Islam
5. Cobaan dan ujian bagi sorang mukallaf untuk mengikutinya atau tidak
6. Menghendaki kebaikan dan kemudahan bagi umat. Sebab jika nasakh itu beralih ke hal yang lebih berat maka di dalamnya terdapat tambahan pahala, dan jika beralih ke hal yang lebih ringan maka ia mengandung kemudahan dan keringanan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Djalal H. A, 2000, Ulumul Qur’an, Dunia Ilmu, Surabaya.
Ahmad Izzan, M.Ag. 2009, Ulumul Qur’an, telaah tekstualisa dan kontekstualitas alquran edisi revisi. Kelompok HUMANIORA, Bandung.
Kitab Faidil Khobir Wahalaa Shiyah At-Taqrin, hal. 145-147