AHLAN WA SAHLAN DI BLOG QISHOTU ILMI

Sabtu, 13 September 2014

Nasikh dan Mansukh

A. Pengertian Nasakh, Nasikh dan Mansukh
1.   Pengertian Nasakh
Belum ada kesepakatan diantara para ulama mengenai pengertian nasakh, baik menurut bahasa ataupun istilah, sehingga masih ada beberapa pengertian untuk masing-masingnya.
Nasakh merupakan mashdar dari lafadنَسَحَ - يَنْسَحُ - نَسْحًا  yang isim fa’ilnya adalah nasikh. Kata nasakh menurut bahasa ada 4 macam :
a. Menghapus/meniadakan (Al-Izaalah Wal I’daam)
Kata nasakh itu berarti menghapuskan sesuatu atau menghilangkannya. Contohnya, seperti kalimat:
     نَسَخَ الشَّيْبُ الشُّبَّانَ
Uban itu telah menghilangkan kemudaan.
Dalam al-Qur’an juga ada contoh kata “nasakh”  yang berarti menghapuskan (meniadakan) seperti ini, yaitu seperti dalam firman Allah SWT:
              •             
Artinya:
“Dan kami tidak mengutus sebelum kamu seseorang rasul pun dan tidak (pula) seorang nabi, melainkan apabila ia membaca (ayat-ayat kami), tentu setan pun memasukkan (keragu-raguan) kepada (pendengarnya) tentang bacaannya itu, maka Allah menghilangkan apa yang dimasukkan oleh setan itu kemudian Allah menguatkan ayat-ayat-Nya”.  (Q.S. Al-Hajj: 52)
b. Memindahkan sesuatu yang tepat kesana yang tetap sama (At-  Tahwiilu Ma’a Baqaa’ihu fi Nafsikh)
Nasakh itu berarti memindahkan suatu barang dari suatu tempat ke tempat lain, tetapi barang itu tetap saja sama. Contohnya seperti kalimat :
تَنَاسَخَ الطُّلاَّبُ مِنْ كُلِّيَّةِ اِلَ كُلِّيَّةِ
para mahasiswa itu saling/sering berpindah dari satu fakultas ke fakultas lain.
Para ulama tidak menemukan dalam al-Qur’an yang menjelaskan tentang al-Tahwil.
c. Menyalin/mengutip (An-Naqlu Min Kitaabin Ilaa Kitaabin)
Nasakh diartikan dengan menyalin/mengutip tulisan dari satu buku ke dalam buku lain, dengan tetap adanya persamaan antara salinan/kutipan dengan yang disalin/dikutip. Contohnya seperti kalimat نَسَخْتُ الدَّرْسُ       (saya menyalin pelajaran itu). Salinan pelajaran itu tentu sama dengan yang disalin.
Contoh dalam ayat al-Qur’an:
       •    
Artinya :
“Inilah kitab (catatan) Kami yang menuturkan kepada kalian dengan benar, karena sesungguhnya Kami telah menyuruh mencatat (mengutip) apa yang tidak kalian kerjakan”. (Q.S. Al-Jaatsiyah: 29)
d. Mengubah/membatalkan (At-Taghyir wal Ibthaal)
Nasakh diartikan dengan mengubah sesuatu ketentuan/hukum, dengan cara membatalkan ketentuan hukum yang ada, diganti dengan hukum baru yang lain ketentuannya. Contohnya, seperti kalimat:
نُسِخَتِ الْوَصِيَّةُ لِلْاَقْرَبِيْنَ بِأَيَةِ الْمَوَارِثِ
Hukum wasiat kepada sanak kerabat itu dihapuskan oleh ayat-ayat tentang waris.
Contoh dalam ayat al-Qur’an:
              •     
Artinya:
“Ayat apa saja yang Kaminasakhkan atau Kami jadikan (manusia) melupakannya, tentu Kami datangkan yang lebih baik darinya atau yang sebanding dengannya. Tidaklah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah itu kuasa atas segala sesuatu?”. (Q.S. Al-Baqarah: 106)
Pengertian nasakh menurut istilah ialah mengubah ketentuan hukum/peraturan dengan cara membatalkan hukum/peraturan yang pertama diganti dengan yang baru, yang lain ketentuannya.
2. Syarat-Syarat Nasakh
Dari paparan pengertian nasakh menurut bahasa dan istilah, dapat disimpulkan bahwa untuk adanya nasakh itu disyaratkan empat hal, sebagai berikut:
a. Hukum yang dinasakh harus berupa hukum syarak, bukan hukum lain, seperti hukum akal atau hukum buatan manusia. Yang dimaksud hukum syarak ialah titah Allah SWT (dan sunah Rasulullah SAW) yang berhubungan dengan perbuatan orang mukallaf, baik secara mewajibkan atau melarang atau menyuruh memilih.
b. Dalil yang menghapuskan hukum syarak itu harus berupa dalil syarak. Tidak boleh berupa dalil akal. Yang dimaksud dengan dalil syarak ialah dalil al-Qur’an, hadits, ijmak, dan kias.
c. Adanya dalil baru yang menghapus itu harus setelah ada tenggang waktu dari dalil hukum yang pertama. Maksudnya, antara dalil yang menetapkan hukum dengan dalil pertama itu harus telah ada tenggang waktu beberapa saat setelah dalil pertama itu datang dan berlaku, baru kemudian datang dalil baru mengubah dan menggantikannya. Karena itu, dalam penegasan, bahwa kalau sekiranya tidak ada nasakh, maka ketentuan hukum yang pertama itu akan tetap berlaku terus.
d. Antara dua dalil nasikh dan mansukh itu harus ada pertentangan yang nyata, sehingga benar-benar tidak dapat diketemukan. Sebab, sebenarnya nasakh itu adalah keadaan yang terpaksa, sebagai jalan keluar/ pemecahan masalah yang tidak dapat diatasi, kecuali dengan ketentuan baru, yang baru datang.
3. Pengertian Nasikh
Nasikh menurut bahasa berarti sesuatu yang menghapuskan, menghilangkan, atau yang memindahkan atau yang mengutip serta mengubah dan mengganti. Jadi, hampir sama dengan pengertian nasakh menurut bahasa seperti yang telah diterangkan di atas. Bedanya, nasakh itu kata masdar, sedangkan nasikh ini isim fa’il, sehingga berarti pelakunya.
Sedangkan pengertian nasikh menurut istilah, ada dua macam, yaitu:
a. Nasikh ialah hukum syarak atau dalil syarak yang menghapuskan/ mengubah hukum/ dalil syarak yang terdahulu dan menggantinya dengan ketentuan hukum baru yang di bawahnya.
b. Nasikh itu ialah Allah SWT. Artinya, bahwa sebenarnya yang menghapus dan menggantikan hukum-hukum syarak itu pada hakikatnya ialah Allah SWT, tidak ada yang lain. Sebab, dalam hukum syarak itu hanya dari Allah SWT, tidak dari yang lain, dan juga tidak diubah atau diganti oleh yang lain . Hal ini sesuai dengan keterangan al-Qur’an:
   
Artinya:
“Sesungguhnya tiada hukum selain dari Allah”.
 (Q.S. Al-An’am: 57)
Dan sesuai pula dengan penegasan Allah SWT, dalam firman-Nya:
              •     
Artinya:
“Apa saja ayat yang Kami nasakhkan atau yang Kami jadikan (manusia)melupakannya, tentu Kami datangkan yang lebih baik darinya, atau yang sebanding dengannya”. (Q.S. Al-Baqarah:106)
4. Pengertian Mansukh
Mansukh menurut bahasa berarti sesuatu yang dihapus/ dihilangkan/ dipindah atau pun disalin/ dinukil. Sedangkan menurut istilah para ulama, mansukh ialah hukum syarak yang diambil dari dalil syarak yang pertama, yang belum diubah dengan dibatalkan dan diganti dengan hukum dari dalil syarak baru yang datang kemudian.
Tegasnya, dalam mansukh itu adalah berupa ketentuan hukum syarak pertama yang telah diubah dan diganti dengan yang baru, karena adanya perubahan situasi dan kondisi yang menghendaki perubahan dan penggantian hukum tadi.

B. Persamaan dan Perbedaan Nasakh dengan Takhshish
Sebelum mengetahui persamaan dan perbedaan nasakh dengan takhshish terlebih dahulu menjelaskan pengertian dari takhshish itu sendiri yaitu upaya membatasi sesuatu hanya pada sebagian dari bagian-bagian yang ada, seperti keumuman lafal atau menentukan kemutlakan artinya .
1. Persamaan Nasakh dan Takshish
a. Nasakh seolah-olah sama seperti takshish yaitu sama-sama membatasi sesuatu ketentuan hukum dengan batasan waktu, sedangkan takhshish dengan batasan materi.
b. Nasakh sama dengan takshish dalam hal sama-sama membatasi berlakunya sesuatu ketentuan hukum syarak. Nasakh menghapus dan mengganti ketentuan hukum-hukum syarak, sedang takhshish membatasi keumuman jangkauan hukum syarak.
c. Dalil yang menasakh sama dengan dalil yang menakhshish, yaitu sama-sama berupa dalil syarak.
2. Perbedaan Nasakh dengan Takhshish
a. Lafal ‘am (umum) setelah ditakhshish/dibaasi, akan menjadi samar jangkauannya, karena bentuknya masih tetap umum, tetapi jangkauannya sudah terbatas sehinga sudah tidak bisa diketahui secara pasti lagi, apa saja yang masih dijangkau oleh lafal yang telah ditakhshish itu.
b. Ketentuan hukum yang dikecualikan dengan takhshish sudah sejak semula memang tidak dikehendaki sama sekali. Sedangkan ketentuan hukum yang dihapuskan dengan nasakh, mulanya dikehendaki dan diberlakukan untuk beberapa saat lamanya. Tetapi setelah ada perubahan situasi dan kondisi yang terjadi, maka ketentuan hukum tersebut dihapuskan dan tidak diberlakukan lagi.
c. Nasakh itu membatalkan itu membatalkan kehujjahan hukum yang dimansukh, sedangkan takhsihsh tidak membatalkan, melainkan hanya membatasi jangkauannya saja, sedangkan ketentuan hukumnya tetap berlaku bagi yangtidak dikecualikan dengan pembatasan.
d. Nasakh itu tidak dapat terjadi, kecuali dalam Alquran dan sunah, sedankan takhshish bisa saja terjai dalam Alquran dan sunah ataupun dalam hukum lain diluar hukum Alquran dan sunah tersebut
e. Nasakh itu dalil nasikhnya harus datang kemudian setelah ketentuan dari dalil yang pertama itu belaku lebih dahulu, lalu dihapuskan. Atau seperti dalam definisi disebutkan dengan Maat Taraakhis (dengan tenggang waktu). Sedangkan dalam takhshish, dalil yang menakshish atau mukhashsishnya boleh datang bersamaan dengan dalil yang ditakhshish, seperti dalam contoh ayat 1-3 surah Al-‘Ashar dan boleh juga datang kemudian, seperti ayat 228 ayat Al-Baqarah dengan ayat 237 surah yang sama, dan sebagainya.

C. Macam-Macam dan Jenis-Jenis Nasakh
1. Macam-Macam Nasakh
Adapun macam-macam nasakh yang terjadi dalam al-Qur’an itu ada tiga macam , sebagai berikut:
a. Menasakh bacaan ayat dan hukumnya sekaligus (Naskhut Tilaawati).
Yaitu, menghapuskan bacaan ayat dan hukum isinya sekali, sehingga bacaan ayatnya sudah tidak ada bahkan tulisan lafal ayanya pun sudah tidak ada pula, dan hokum ajarannya pun telah dihapus dan diganti dengan ketentuan lain. Contohnya seperti penghapusan ayat yang mengharamkan kawin dengan saudara sepersusuan karena bersama-sama menetek kepada seorang ibu dengan sepuluh kali susuan, yang dinasakh dan diganti dengan lima kali susuan.
b. Menasakh hukumnya tanpa menasakh bacaannya ( Naskhul Hukmi Duunat Tilawaati).
Yakni, tulisan dan bacaan ayatnya masih boleh dibaca, tetapi isi hukum ajarannya sudah dinasakh, sudah dihapuskan dan diganti dengan yang lain, sehingga sudah tidak boleh diamalkan lagi.
Contohnya seperti ayat al-Qur’an:
       ••    
Artinya:
“Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antara kalian dan meninggal beberaa istri, hendaklah berwasiat untuk istri-istrinya itu, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dengan tidak disuruh pindah”. (Q.S. Al-Baqarah: 240)
Allah SWT menasakh hukum ayat tersebut, sehingga keharusan idah satu tahun sudah tidak berlaku lagi, meski lafal nash ayatnya masih tetap ada dan boleh dibaca. Lalu diganti dengan ketentuan hukum dari ayat al-Qur’an:
         
Artinya:
“Dan orang-orang yang meninggal dunia di antara kalian dengan meninggalkan istri-istri,(maka hendaklah istri-istri itu) menangguhkan diri mereka (beribadah) selama empat bulan sepuluh hari”. (Q.S. Al-Baqarah: 234)
Dari turunnya ayat 234 surah Al-Baqarah ini, maka ayat 240 Al-Baqarah yang tulisan dan bacaannya masih tetap ada itu, hukum isinya yaitu idah satu tahun bagi wanita yang cerai mati itu sudah tidak berlaku lagi, sudah dihapus dan diganti dengan idah 4 bulan 10 hari saja.
c. Menasakh bacaan ayat tanpa menasakh hukumnya (Naskhut Tilaawati Duunal Hukmi).
Yakni tulisan ayatnya sudah dihapus, sehingga sudah tidak dapat dibaca lagi, tetapi hukum isinya masih tetap berlaku dan harus diamalkan. Dalil yang menetapkan adanya nasakh macam ini ialah hadits dari Umar bin Khaththab dan Ubay bin Ka’ab yang berkata:
كَانَ فِيْمَا اُنْزِلَ مِنَ الْقُرْانِ الشَّيْخَ وَالشَّيْخَةَ اِذَا زَنِيَا فَارْجُمُوْهُمَا الْبَتَّةَ نَكَا لاً مِنَ اللّهِ
Artinya:
“Termasuk dari ayat al-Qur’an yang diturunkan ialah ayat (yang artinya): Orang tua laki-laki dan orang tua perempuan itu kalau keduanya berzina, maka rajamlah (dihukum lempar batu sampai mati) sekaligus sebagai balasan dari Allah”.
Kalau dicari di seluruh surah al-Qur’an, ketentuan tersebut sudah tidak akan diketemukan lagi, karena memang sudah dinasakh. Tetapi hukum rajam bagi orang tua yang berzina, isi dari ayat tadi itu masih tetap berlaku, meski ayatnya sudah tidak ada lagi dari yang membaca atau yang menghafalnya.
2. Jenis-Jenis Nasakh
Adapun jenis-jenis nasakh itu ada empat , sebagai berikut:
a. Nasakh Alquran (Naskhul Qur’ani bil Qur’aani)
Naskah ini disepakati oleh seluruh orang yang menyetujui nasakh mengenai kebolehannya terjadi nasakh. Contohnya seperti ayat 12 surah Al Mujadilah yang dinasakh dengan ayat 13 surah Al-Mujadilah,
                    •   
Artinya :
“Hai orang-orang beriman, apabila kamu mengadakan pembicaraan khusus dengan Rasul hendaklah kamu mengeluarkan sedekah (kepada orang miskin) sebelum pembicaraan itu. yang demikian itu lebih baik bagimu dan lebih bersih; jika kamu tidak memperoleh (yang akan disedekahkan) Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S Al-Mujadilah: 12)
                 •        
Artinya :
“Apakah kamu takut akan (menjadi miskin) Karena kamu memberikan sedekah sebelum mengadakan pembicaraan dengan Rasul? Maka jika kamu tiada memperbuatnya dan Allah Telah memberi Taubat kepadamu Maka Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya; dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan”. (Q.S Al-Mujadilah: 13)
b. Nasakh Al-Qur’an dengan sunah (Naskhul Qur’aani bis Sunnati)
Nasakh ini boleh, baik sunah yang ahad atau mutawatir. Nasakh dengan hadis ahad tidak diperoleh oleh Jumhur Ulama. Sebab, Al-Qur’an adalah mutawatir datangnya, sehingga memberi faedah yang meyakinkan. Sedangkan hadis ahad itu hanya membeirkan faedah yang dzanni (dugaan) saja. Karena itu, tidak boleh menghapuskan hukum yang “meyakinkan” dengan dalil yang “dugaan” saja. Adapun hukum nasakh dengan hadits mutawatir itu menurut Jumhur ulama diperbolehkan, karena kedua-duanya itu wahyu Allah SWT. Hal ini sesuai dengan keterangan ayat-ayat sebagai berikut:
         
Artinya :
“Dan tiadalah yang diucapkan itu (Alquran) menurut kemauan hwa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadaNya) (Q.S An-Najm: 3-4)
c. Nasakh sunah dengan Al-Qur’an (Naskhul Sunnah bil Qur’aani)
Nasakh ini menghapuskan hukum yang ditetapkan berdasarkan sunah diganti dengan hukum yang didasarkan dengan Al-Qur’an. Nasakh jenis ini diperbolehkan oleh Jumhur Ulama. Contohnya seperti berpuasa wajib pada hari Asy-syura.
d. Nasakh sunah dengan sunah (Naskhus Sunah bis Sunnah)
Yaitu hukum yang ditetapkan berdsarkan dalil sunah dinasakh dengan dalil sunah pula
Dalam nasakh ini ada empat kemungkinan, yaitu :
1) Nasakh sunah yang mutawatirah dengan yang mutawatirah (Naskhus Sunanti Al-Mutawaarati bil Mutawatirati)
2) Nasakh sunah yang ahad dengan yang ahad (Naskhus Sunnati Al-Ahaadi bil Ahaadi)
3) Nasakh sunah yang ahad dengan yangmuawatir (Naskhus Sunnati Al-Ahaadi bil Mutawaatirati)
4) Nasakh sunah mutawatirah dengan yang ahad (Naskhus Sunnati Al-Mutawaatirati bil Ahaadi)

D. Cara Mengetahui Nasakh
Untuk mengetahui nasakh ada dua dalil syarak yang bertentangan antara yang satu dengan yang lain secara nyata, yang tidak dapat dikompromikan, sehingga tidak ada jalan lain, kecuali menentukan salah satu dalil itu sebagai nasikh (yang menghapuskan) dan yang lain sebagai yang dihapus. Hal itu perlu guna menghindari adanya pertentangan dalam firman syarak yang Maha Bijaksana.
Ada tiga cara untuk mengetahui ketentuan dalil yang datang duluan atau kemudian , yaitu sebagai berikut:
1. Dalam salah satu dalil nashya harus ada yang menentukan datangnya lebih belakangan dari dalil yang lain. Contohnya seperti dalam ayat 13 Surah Al-Mujadilah.
2. Harus ada kesepakatan (ijmak) para imam dalam suatu masa dari sepanjang waktu yang menetapkan, bahwa salah satu dari dua dalil itu datang lebih dahulu dan yang lain datang kemudian. Maksudnya, jika ketentuan datangnya dalil-dalil itu dapat diketahui dari kalimat-kalimat dalil itu sendiri, maka harus ada ijmak ulama yang menetapkan hal tersebut.
3. Harus ada riwayat sahih dari salah seorang sahabat yang menentukan mana yang lebih dahulu dari kedua dalil nash yang saling bertentangan tadi.

E. Pendapat Para Ulama tentang Nasakh
Ada dua golongan ulama yang berbeda pendapat dan haluan, baik dari kalangan Mutaqaddimin maupun muta’akhirin, mengenai Nasikh wa al-mansukh. Pertama, golongan yang membenarkan danya nasikh wa al-mansukh dalam Al-Qur’an. Kedua golongan yang menolak adanya nasikh wa al-mansukh itu.
Kelompok pertama yakni membenarkan adanya nasikh wa al mansukh dalam al-Qur’an dipelopori oleh asy-Syafii, an-Nahhas, as-Suyuti, dan asy-Syaukani. Mereka bersandar pada firman Allah SWT berikut
              •     

Artinya :
“Ayat mana saja yang kami nasakhkan, atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. Tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?” (Q.S Al Baqarah: 106)
Golongan kedua adalah kelompok ulama yang menyatakan bahwa dalam al-Quran tidak ada nasikh wa al-mansukh. Kelompok “penentang” konsep nasikh wa al-mansukh ini dipelopori oleh Abu uslim al-Ishafahani, al-Fakhrusi dan Sykeh Muhammad Abduh. Menurut Al-Fashani, tak seorang pun dapat atau berhak mengubah firman Allah. Kita wajib beriman bahwa diantara Al-Qur’an tidak ada pembatalan (nasikh) karena semua ayat sudah tetap (muhkam) dan wajib diamalkan. Selain itu, seperti yang diungkapkan oleh az-Zarqani, terdapat ulama ushul fiqh dan ulama tafsir yang mengemukakan pendapat tertentu, antara lain, Ibnu Katsir, al-Maraghi, asy-Syarthibi dan asy-Sayfi’i .

F. Hikmah yang ada pada nasakh
Adapun hikmah yang terdapat pada nasakh antara lain sebagai berikut:
1. Mengukuhkan keberadaan Allah, bahwa Allah takkan pernah terikat dengan ketentuan-ketentuan yang sesuai dengan logika manusia, sehingga jalan pikiran manusia takkan pernah bisa mengikat Allah SWT. Allah mampu melakukan apa saja, sekalipun menurut manusia hal tersebut tidak logis. Tetapi Allah akan menunjukkan, bahwa kehendakNya lah yang akan terjadi, bukan kehendak kita. Sehingga diharapakn dari keberadaan nasakh dan mansukh ini akan mampu meningkatkan keimanan kita kepada Allah SWT bahwa Dialah yang Maha Menentukan.
2. Dengan nasakh dan mansukh ini diharapkan pula kita akan mempunyai prediksi dan pengertian bahwa Allah itu memang adalah zat yang Maha Bijak, Maha Kasih, Maha Sayang, bahkan “arhamurrahimin”, yaitu lebih kasih daripada yang berhati kasih dan lebih sayang daripada siapa saja yang berhati sayang. Mengapa? Karnea memang pada kenyataannya hukum-hukum nasakh dan mansukh tersebut semuanya demi untuk kemaslahatan dan kebaikan kita.
3. Memelihara kemaslahatan hamba
4. Perkembangan tasyri’ menuju tingkat sempurna sesuai dengan perkembangan dakwah dan kondisi umat Islam
5. Cobaan dan ujian bagi sorang mukallaf untuk mengikutinya atau tidak
6. Menghendaki kebaikan dan kemudahan bagi umat. Sebab jika nasakh itu beralih ke hal yang lebih berat maka di dalamnya terdapat tambahan pahala, dan jika beralih ke hal yang lebih ringan maka ia mengandung kemudahan dan keringanan.
 
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Djalal H. A, 2000, Ulumul Qur’an, Dunia Ilmu, Surabaya.

Ahmad Izzan, M.Ag. 2009, Ulumul Qur’an, telaah tekstualisa dan kontekstualitas alquran edisi revisi. Kelompok HUMANIORA, Bandung.

Kitab Faidil Khobir Wahalaa Shiyah At-Taqrin, hal. 145-147

Sistem Etika Bisnis

A. Sistem Etika Bisnis Islam
Sistem bisnis yang bersumber pada ajaran non-Islam ternyata telah menyebabkan malapetaka ekonomi, baik di dunia Barat maupun Timur. Malapetaka tersebut antara lain semakin membengkaknya jumlah pengangguran dimana-mana, jumlah orang miskin semakin hari terus meningkat. Faktor penyebabnya karena bisnis yang dipraktikkan oleh para pelakunya hanya berorientasi pada keuntungan materi (profit) semata, tanpa menghiraukan nilai-nilai luhur (kebajikan) kemanusiaan. Mereka banyak mempraktikkan sistem ribawi (bunga) yang hanya menguntungkan pemilik modal, sementara pihak pengutang terus terbebani untuk melunasi pinjaman pokok beserta bunganya.
 Untuk mengatasi keprihatinan ekonomi itu, Islam sebagai agama fitrah dan rahmatan lil’alamin memberikan solusi terbaik yang bisa mengatasi manusia dari keterburukan. Islam menawarkan konsep bisnis yang bersih dari berbagai perbuatan kotor dan tercela yang jauh dari keadilan, juga sebuah konsep yang memiliki visi yang jauh ke depan. Namun demikian yang dikejar dalam Islam tidak hanya keuntungan duniawi semata, tetapi keuntungan materi yang halal yang penuh barakah yang akan membawa kebahagiaan di dunia dan akhirat.
Al-Quran juga menegaskan bahwa bisnis itu adalah tindakan yang halal dan dibolehkan. Perdagangan yang jujur dan bisnis yang transparan sangat dihargai, direkomendasikan dan dianjurkan. Bisnis yang benar-benar sukses menurut al-Quran adalah bisnis yang dapat membawa keuntungan pada pelakunya dalam dua fase kehidupan yang fana dan terbatas yakni dunia, sekaligus kehidupan yang abadi dan tidak terbatas yakni akhirat. Adalah merupakan tindakan yang bijaksana bagi seorang pelaku bisnis apabila dalam tindakannya mampu meninggalkan keuntungan yang cepat namun fana, demi mengejar keuntungan yang lama, namun abadi.
Objek Etika Bisnis Islam apabila dilihat dari pelaku atau pengelola dalam melakukan bisnis atau usaha yang pada dasarnya secara sederhana dapat dilakukan individu-individu tertentu, namun ketika manusia menyadari keterbatasan dirinya dan semakin banyak tantangan di dunia bisnis yang akan dihadapi. Sehingga semakin banyak bisnis yang hanya mungkin dapat dilaksanakan oleh suatu usaha bersama antar individu-individu yang terorganisasi dalam suatu organisasi yakni dalam bentuk perusahaan, persekutuan, koperasi, atau perseroan terbatas. Akan tetapi, ketika bisnis masih dilakukan oleh individu-individu tertentu, maka bisnis masih merupakan aktivitas yang dapat menimbulkan efek-efek yang kompleks kecuali pada individu-individu yang bersangkutan. Namun setelah bisnis dilakukan secara terorganisasi dengan melibatkan banyak individu dalam manajemen perusahaan serta menimbulkan efek-efek sosial yang bertumpu pada penyeimbangan berbagai macam kepentingan dari sudut pandang bisnis sebagai aktivitas maupun sebagai entitas yang terlepas dari etika.
Sejumlah parameter kunci sistem etika Islam telah terungkap dan dapat dirangkum sebagai berikut:
1. Berbagai tindakan ataupun keptusan disebut etis bergantung pada niat individu yang melakukannya. Allah Maha Kuasa dan mengetahui apapun niat kita sepenuhnya dan secara sempurna.
2. Niat baik yang diikuti tindakan yang baik akan dihitung sebagai ibadah. Niat yang halal tidak dapat mengubah tindakan yang haram menjadi halal.
3. Islam memberikan kebebasan kepada individu untuk percaya dan bertindak berdasarkan apapun keinginannya, namun tidak dalam hal tanggung jawab dan keadilan.
4. Percaya kepada Allah SWT memberi individu kebebasan sepenuhnya dari hal apapun atau siapapun kecuali Allah.
5. Keputusan yang menguntungkan kelompok mayoritas ataupun minoritas tidak secara langsung berarti bersifat etis dalam dirinya. Etika bukanlah permainan mengenai jumlah.
6. Islam mempergunakan pendekatan terbuka terhadap etika, bukan sebagai sistem yang tertutup, dan berorientasi diri sendiri. Egoisme tidak mendapat tempat dalam ajaran Islam.
7. Keputusan etis harus didasarkan pada pembacaan secara bersama-sama antara al-Qur’an dan alam semesta.
8. Tidak seperti sistem etika yang diyakini banyak agama lain, Islam mendorong umat manusia untuk melaksanakan tazkiyah melalui partisipasi aktif dalam kehidupan ini. Dengan berperilaku secara etis di tengah godaan ujian dunia, kaum muslim harus mampu membuktikan ketaaannya kepada Allah SWT.

B. Tujuan Umum Etika Bisnis dalam Islam
Dalam hal ini, etika bisnis Islam adalah merupakan hal yang penting dalam perjalanan sebuah aktivitas bisnis profesional. Sebagaimana diungkapkan oleh Dr. Syahata, bahwa etika bisnis Islam mempunyai fungsi substansial yang membekali para pelaku bisnis, beberapa hal sebagai berikut :
1. Membangun kode etik Islami yang mengatur, mengembangkan dan menancapkan metode berbisnis dalam kerangka ajaran agama. Kode etik ini juga menjadi simbol arahan agar melindungi pelaku bisnis dari resiko.
2. Kode etik ini dapat menjadi dasar hukum dalam menetapkan tanggungjawab para pelaku bisnis, terutama bagi diri mereka sendiri, antara komunitas bisnis, masyarakat, dan di atas segalanya adalah tanggungjawab dihadapan Allah SWT.
3. Kode etik ini dipersepsi sebagai dokumen hukum yang dapat menyelesaikan persoalan yang muncul, daripada harus diserahkan kepada pihak peradilan.
4. Kode etik dapat memberi kontribusi dalam penyelesaian banyak persoalan yang terjadi antara sesama pelaku bisnis dan masyarakat tempat mereka bekerja. Sebuah hal yang dapat membangun persaudaraan (ukhuwah) dan kerja sama antara mereka semua.
Etika bisnis dalam Islam memposisikan pengertian bisnis yang pada hakikatnya merupakan usaha manusia untuk mencari keridhaan Allah SWT. bisnis tidak bertujuan jangka pendek, individual dan semata-mata keuntungan yang berdasarkan kalkulasi matematika, tetapi bertujuan jangka pendek sekaligus jangka panjang, yaitu tanggung jawab pribadi dan sosial masyarakat, Negara dan Allah SWT.  

C. Sistem Paradigma Etika Berbisnis dalam Islam
Bagi seorang muslim, kemapanan paradigma (pola pikir/cara pandang) konvensional akan arti manusia sebagai ‘ Homo economicus’ (pelaku ekonomi yang mencari keuntungan bagi dirinya tanpa mengindahkan kepentingan orang lain) tidak sepenuhnya sesuai dengan nilai-nilai etika Islam. Oleh sebab itu, konsep moral dalam perspektif Islam dikeluarkan pada saat pencerahan aksioma-aksioma yang sudah terlanjur terkenal (dari sistem kapitalis misalnya).
Ada beberapa ciri khas etos kerja Islami yang dapat diakomodir dari implementasi nilai Islam dalam al-Qur’an dan al-Hadits, seperti sebagai berikut menghargai waktu, ikhlas, jujur, komitmen kuat, istiqamah, disiplin dalam kerja dan lain sebagainya.
Adapun penerapan etika bisnis dapat dilakukan pada tiga tingkatan, yaitu; individual, organisasi, dan sistem. Pertama, pada tingkat individual, etika bisnis mempengaruhi  pengambilan keputusan seseorang atas tanggungjawab pribadinya dan kesadaran sendiri, baik sebagai penguasa maupun manajer. Kedua, pada tingkat organisasi, seseorang sudah terikat kepada kebijakan perusahaan  dan persepsi perusahaan tentang tanggungjawab sosialnya. Ketiga, pada tingkat sistem, seseorang menjalankan kewajiban atau tindakan berdasarkan sistem etika tertentu.
Realitasnya, para pelaku bisnis sering tidak mengindahkan etika. Nilai moral yang selaras dengan etika bisnis, misalnya toleransi, kesetiaan, kepercayaan, persamaan, emosi atau religius hanya dipegang oleh pelaku bisnis yang kurang berhasil dalam berbisnis. Sementara para pelaku bisnis yang sukses memegang prinsip-prinsip bisnis yang tidak bermoral, misalnya maksimalisasi laba, agresivitas, individualitas, semangat persaingan, dan manajemen konflik.
Sistem paradigma etika berbisnis dalam Islam antara lain Islam ditujukan sebagai rahmatan lil’alamin, jangkauan Islam mencakup semua aspek kehidupan, tidak ada bagian kehidupan yang terlewatkan oleh Islam, bagian dari total kehidupan adalah dunia bisnis dan lain-lain.

D. Perbedaan Sistem Etika Bisnis Islam dan Non-Islam
Sistem etika bisnis Islam berbeda dari sistem etika sekuler dan dari ajaran moral yang diyakini oleh agama-agama lain. Etika sekuler ini mengasumsikan ajaran moral yang bersifat sementara dan berubah-ubah karena didasarkan pada nilai-nilai yang diyakini dari pencetusnya. Misalnya epicurianisme atau ajaran tentang kebahagiaan demi kebahagiaan semata.
Pada saat yang sama, ajaran moral yang diyakini oleh sejumlah agama lain seringkali terlampau menekankan nilai-nilai yang mengabaikan keberadaan kita di dunia ini. Sebagai contoh, ajaran Kristen yang terlampau menekankan kedudukan biara telah mendorong pengikutnya untuk menyingkir dari hiruk-pikuk dan kesibukan kehidupan sehari-hari.
Untuk ajaran Islam yang melekat dalam sistem etika bisnis Islam menekankan hubungan manusia dengan Sang Pecipta. Kaum Muslim memiliki ajaran moral yang tidak terikat waktu dan tidak dipengaruhi oleh prilaku manusia. Ajaran etika bisnis Islam dapat diterapkan sampai pembuatan keputusan bisnis Muslim, sifat egoisme tidak mendapatkan tempat dalam Islam.
Perusahaan dalam sistem bisnis (ekonomi) Islam adalah perusahaan keluarga, bukan Perseroan Terbatas yang pemegang sahamnya dapat menyerahkan pengelolaan perusahaan begitu saja pada orang yang ditunjuk sebagai manajer yang digaji. Sehubungan dengan sistem ini, maka tidak ada perusahaan yang menjadi sangat besar, seperti di dunia kapitalis barat, tetapi juga tidak ada perusahaan yang tiba-tiba bangkrut atau dibangkrutkan.
Misalnya dalam perusahaan yang Islami gaji karyawan dapat diturunkan jika perusahaan benar-benar merugi dan karyawan juga mendapat bonus jika keuntungan perusahaan meningkat. Buruh muda yang masih tinggal bersama orang tua dapat dibayar lebih rendah, sedangkan yang sudah berkeluarga dan punya anak dapat dibayar lebih tinggi dibandingkan rekan-rekannya yang masih muda.

Kewarganegaraan

A. Kedudukan Warga Negara dan Pewarganegaraan di Indonesia
1. Pengertian Warga Negara
Rakyat menjadi salah satu unsur berdirinya negara, jika tidak ada rakyat maka sebuah negara tidak akan berdiri, dan sebaliknya. Suatu negara pada dasarnya adalah alat untuk mengatur kehidupan bersama dalam suatu ikatan organisasi resmi guna mencapai cita-cita dan tujuan hidup bersama yang hendak dicapai sebuah bangsa.
Tiap-tiap negara memiliki istilah tersendiri untuk menyebut warga negara. Di Belanda, warga negara disebut dengan istilah staatsburger, di Inggris disebut citizen, sedangkan di Prancis disebut citoyen. Adapun di Indonesia, istilah warga negara juga dikenal dengan istilah kaulanegara. Istilah “kaula” berasal dari bahasa Jawa yang menurut peraturan perundang-undangan Hindia Belanda memiliki pengertian yang sepadan dengan istilah onderdaan (bahasa Belanda) yang berarti ikatan antara seorang warga negara dengan negaranya.
Sedangkan definisi dari warga negara itu sendiri adalah orang-orang yang memiliki kedudukan resmi sebagai anggota penuh suatu negara. Mereka memiliki kewajiban untuk memberikan kesetiaanya pada negara tersebut, menerima perlindungan darinya dan memilki hak untuk ikut serta dalam proses politik. Warga negara memilki hubungan secara hukum yang tidak terputus dengan negaranya meski orang yang bersangkutan telah berdomisili di luar negeri, selama orang tersebut tidak memutuskan kewarganegaraannya. Adapun definisi dari warga negara menurut UU No. 12 Tahun 2006 tentang Kewarganegaraan Republik Indonesia pasal 1 adalah warga suatu negara yang ditetapkan bedasarkan peraturan perundang-undangan.
Dalam pemahaman sebagian besar masyarakat, warga negara/rakyat disamakan dengan penduduk. Padahal keduanya adalah hal yang berbeda. Berikut ini adalah penjelasan R.G. Kartasapoetra mengenai kedua hal tersebut.
a. Orang yang disebut rakyat suatu negara haruslah mempunyai ketegasan bahwa mereka itu benar-benar tunduk pada UUD negara yang berlaku, mengakui kekuasaan negara tersebut, dan mengakui wilayah negara tadi sebagai wilayah tanah airnya yang hanya satu-satunya.
b. Sedangkan penduduk adalah semua orang yang ada atau bertempat tinggal dengan ketegasan telah memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu yang ditetapkan oleh peraturan negara, sehingga mereka dapat melakukan kegiatan-kegiatan kehidupan yang sewajarnya di wilayah negara yang bersangkutan. Sebaliknya, bukan penduduk adalah mereka yang berada dalam wilayah suatu negara hanya untuk sementara waktu. Jelasnya, mereka tidak bermaksud bertempat tinggal dalam waktu yang lama di wilayah negara yang bersangkutan.
Oleh karenanya, pengertian penduduk dapat dibagi menjadi dua sebagai berikut.
a. Penduduk warga negara adalah orang yang memiliki hubungan yang tidak terputus dengan tanah airnya dan UUD negaranya, serta mengakui kekuasaan negara, walaupun yang bersangkutan berada di luar negeri selama tidak memutuskan hubungan kewarganegaraannya atau terikat oleh ketentuan hukum internasional.
b. Penduduk bukan warga negara (orang asing) adalah orang yang hanya memiliki hubungan hukum dengan suatu negara selama orang yang bersangkutan bertempat tinggal dalam wilayah negara tersebut.
2. Asas Penentuan Kewarganegaraan
 Status kewarganegaraan merupakan hal yang sangt penting karena berkaitan dengan hak dan kewajiban tiap warga negara maupun negara atas warganya. Adapun cara untuk menentukan kewarganegaraan seseorang dapat menggunakan dua macam asas yang berlaku, yaitu atas dasar kelahiran atau atas dasar perkawinan.
Untuk memperjelas pemahaman mengenai asas-asas kewarganegaraan, berikut ini akan dijelskan.
a. Kewarganegaraan Berdasarkan Kelahiran (Asas Kelahiran)
Penentuan kewarganegaraan seseorang atas dasar kelahiran dibedakan menjadi dua sebagai berikut.
1) Asas Tempat Kelahiran (Ius Soli)
Ius soli merupakan ungkapan dari bahasa Latin, yaitu ius yang berarti hukum/pedoman, sedangkan soli berasal dari kata solum yang berarti tanah, daerah, atau negeri sehingga ius soli berarti pedoman penentuan kewarganegaraan seseorang yang didasarkan pada tempat, daerah, atau negara dimana orang tersebut lahir. Hal ini berarti bahwa apabila suatu negara menganut asas ini, maka orang yang dilahirkan di negara tersebut secara otomatis menjadi warga negara tersebut. Contoh: apabila negara India menganut asas ius soli, maka siapa pun yang dilahirkan di India berhak menjadi warga negara India.
2) Asas Hubungan Darah/Keturunan (Ius Sanguinis)
Ius sanguinis juga berasal dari bahasa Latin. Ius berarti hukum/pedoman, sedangkan sanguinis berasal dari kata sanguis yang berarti darah. Sehingga ius sanguinis berarti pedoman penentuan kewarganegaraan yang didasarkan pada keturunan atau hubungan darah. Hal ini berarti bahwa suatu negara yang menganut asas sanguinis, maka siapa pun anak yang dilahirkan oleh warga negara tersebut meskipun lahir di negara lain maka secara otomatis menjadi warga negara tersebut. Contoh: misalnya negara Amerika Serikat menganut asas sanguinis, maka anak dari seorang warga negara AS, di mana pun dia lahir, secara otomatis menjadi warga negara AS.
b. Kewarganegaraan Berdasarkan Perkawinan
Selain atas dasar kelahiran, dalam hukum kewarganegaraan juga mengenal adanya dua asas yang didasarkan pada perkawinan. Suatu perkawinan dapat menyebabkan terjadinya perubahan status kewarganegaraan seseorang. Masalah muncul apabila terjadi suatu perkawinan campuran, yaitu suatu perkawinan yang dilangsungkan oleh para pihak yang berbeda kewarganegaraannya. Penentuan status kewarganegaraan yang didasarkan pada perkawinan meliputi dua asas sebagai berikut.
1) Asas Kesatuan Hukum
Asas kesatuan hukum bertolak dari hakikat suami istri ataupun ikatan dalam keluarga. Keluarga merupakan inti masyarakat. Masyarakat akan sejahtera apabila didukung oleh keluarga-keluarga yang sehat dan tidak terpecah. Pada umumnya pihak istrilah yang mengikuti kewarganegaraan suaminya. Namun, sering kali hal semacam ini kurang diterima oleh sebagian pihak. Bagi sebagian orang yang mengagungkan emansipasi wanita, prinsip tersebut dianggap merendahkan wanita, dengan asumsi bahwa wanita memilki kedudukan sama seperti laki-laki yaitu memiliki hak dan kebebasan untuk memilih apa yang terbaik bagi dirinya.
2) Asas Persamaan Derajat
Menurut asas persamaan derajat, suatu perkawinan tidak menyebabkan berubahnya status kewarganegaraan masing-masing pihak, baik suami ataupun istri tetap menyandang kewarganegaraannya seperti sebelum mereka menikah.
Ditinjau dari aspek kepentingan nasional masing-masing negara, asas persamaan derajat mempunyai aspek positif, yaitu menghindarkan terjadinya penyelundupan hukum. Misalnya seseorang berkewarganegaraan asing yang ingin memperoleh status warga negara suatu negara berpura-pura melakukan perkawinan dengan seorang warga negara dari negara yang bersangkutan. Melalui perkawinan itu, orang tersebut memperoleh kewarganegaraan yang ia inginkan. Setelah status kewarganegaraan yang diinginkan diperoleh, mereka pun bercerai. Dalam rangka menghindari terjadinya penyelundupan/pengelabuan hukum seperti dalam contoh kasus tersebut, maka banyak negara yang menggunakan asas persamaan derajat dalam peraturan mengenai kewarganegaraannya.
3. Masalah Kewarganegaraan
Ada negara yang menganut ius soli, ada pula yang menganut ius sanguinis. Ada juga negara yang lebih menitikberatkan pada penggunaan ius sanguinis, dengan ius soli sebagai pengecualian. Sebaliknya ada pula negara yang lebih menitikberatkan pada penggunaan ius soli, dengan ius sanguinis sebagai pengecualian. Penggunaan kedua asas secara bersama ini bertujuan agar status apatride atau tidak berkewarganegaraan dapat dihindari.
Sebaliknya, karena berbagai negara menganut asas kewarganegaraan berdasarkan kelahiran yang berbeda-beda, dapat menimbulkan masalah bipatride atau dwikewarganegaraan, bahkan multipatride atau berkewarganegaraan lebih dari dua.
Untuk memperjelas pemahaman mengenai apatride dan bipatride, berikut ini akan dijelaskan.
a. Apatride
Apatride adalah suatu istilah untuk orang-orang yang tidak memiliki kewarganegaraan. Contoh:
1) Seorang keturunan bangsa X yang menganut asas ius soli lahir di negara Y yang menganut asas ius sanguinis, anak tersebut tidak menjadi warga negara X maupun Y.
2) Seorang wanita warga negara X yang menganut asas kesatuan hukum menikah dengan seorang pria warga negara Y yang menganut asas persamaan derajat. Ia ditolak oleh negara suaminya (negara Y) karena menurut negara tersebut suatu perkawinan tidak menyebabkan perubahan status kewarganegaraan masing-masing pihak sedangkan di negaranya sendiri (negara X) kewarganegaraannya telah terlepas karena perkawinannya dengan laki-laki asing. Ia harus melepaskan kewarganegaraan X-nya untuk mengikuti kewarganegaraan suaminya.
b. Bipatride
Bipatride adalah suatu istilah untuk menyebut orang yang mempunyai dua macam kewarganegaraan sekaligus. Contoh:
1) Seorang keturunan bangsa Y yang menganut asas ius sanguinis lahir di negara X yang menganut asas ius soli. Ia akan dianggap sebagai warga negara Y karena lahir dari keturunan orang dari negara Y dan ia juga dianggap sebagai warga negara X karena dilahirkan di negara X yang menganut asas ius soli
2) Seorang laki-laki warga negara X yang menganut asas kesatuan hukum menikah dengan seorang wanita berkewarganegaraan Y yang menganut asas persamaan derajat. Maka wanita tersebut memiliki dua kewarganegaraan karena menurut ketentuan negaranya, ia tidak diperkenankan untuk melepas kewarganegaraan Y-nya. Sementara itu, menurut ketentuan dari negara suaminya, ia harus menjadi warga negara X mengikuti status suaminya.
Adanya masalah kewarganegaraan yang memungkinkan terjadinya apatride dan bipatride. Maka untuk menentukan kewarganegaraan seseorang dapat dilakukan dengan cara pewarganegaraan.
4. Pewarganegaraan dan Stelsel Kewarganegaraan
Pewarganegaraan sering disebut naturalisasi, yaitu suatu proses hukum yang dilakukan oleh seseorang untuk memperoleh/memiliki kewarganegaraan suatu negara. Naturalisasi dilakukan karena seseorang tidak memenuhi syarat sebagai warga negara berdasarkan pada asas ius soli maupun ius sanguinis.
Adapun persyaratan dan prosedur dari tiap-tiap negara mengenai naturalisasi adalah berbeda-beda sesuai dengan kebijakan negara tersebut. Pada umumnya persyaratan beserta prosedur mengenai naturalisasi tersebut diatur dalam perundang-undangan tentang kewarganegaraan.
Meskipun tiap negara memilki perbedaan persyaratan dan prosedur pewarganegaraan, namun secara umum terdapat dua cara pewarganegaraan, atau disebut dengan stelsel, yaitu:
a. Stelsel Aktif
Bahwa seseorang akan menjadi warga negara suatu negara apabila melakukan serangkaian tindakan hukum tertentu secara aktif.
b. Stelsel Pasif
Bahwa seseorang secara otomatis menjadi warga negara dari suatu negara tanpa harus melakukan tindakan hukum tertentu.
Berdasarkan kedua stelsel di atas terdapat dua hak yang dimiliki oleh setiap warga negara terkait dengan status kewarganegaraan, yaitu sebagai berikut.
a. Hak opsi adalah hak untuk memilih suatu kewarganegaraan (dalam stelsel aktif).
b. Hak repudiasi adalah hak untuk menolak suatu kewarganegaraan (dalam stelsel pasif).

B. Warga Negara dalam Tinjauan Hukum Kewarganegaraan Indonesia
1. Hukum yang Memuat tentang Kewarganegaraan Indonesia
Di Indonesia, hal mengenai warga negara dan penduduk diatur dalam UUD 1945 pasal 26. Selain itu, diatur pula mengenai hak untuk mendapat kewarganegaraan yang termuat dalam UUD1945 pasal 28D ayat 4 yang berbunyi “Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan”.
Undang-undang tentang kewarganegaraan RI yang terbaru dan berlaku pada saat ini adalah UU No. 12 Tahun 2006, dimana dalam undang-undang tersebut termuat beberapa perbedaan penting dengan ketentuan-ketentuan sebelumnya mengenai warga negara. Perbedaan-perbedaan tersebut meliputi sebagai berikut.
a. Secara filosofis, UU No. 12 Tahun 2006 bersifat nondiskriminatif sehingga lebih menjamin pemenuhan hak asasi dan persamaan kedudukan antar warga negara, serta memberikan perlindungan terhadap perempuan dan anak-anak.
b. Secara yuridis, UU No. 12 Tahun 2006 disusun berdasarkan UUD 1945 (hasil amandemen) yang lebih menjamin hak asasi manusia dan hak warga negara.
c. Secara sosiologis, UU No. 12 Tahun 2006 telah disesuaikan/mengikuti perkembangan global terkini yang menghendaki adanya persamaan derajat warga negara di hadapan hukum serta adanya keadilan dan kesetaraan gender.
2. Memahami Undang-Undang Kewarganegaraan Republik Indonesia
Secara umum, UU kewarganegaraan Republik Indonesia yaitu UU No. 12 Tahun 2006 mengatur tentang tiga hal penting yaitu meliputi:
a. cara seseorang memperoleh kewarganegaraan,
b. kehilangan kewarganegaraan,
c. memperoleh kembali kewarganegaraan Indonesia.
Dalam penjelasan atas UU No.12 Tahun 2006 tentang kewarganegaraan RI juga disebutkan mengenai asas-asas yang dianut dalam UU ini, yaitu sebagai berikut.
a. Asas ius sanguinis adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan keturunan, bukan berdasarkan tempat kelahiran.
b. Asas ius soli secara terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan seseorang berdasarkan negara tempat kelahiran, yang dilakukan terbatas bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang ini.
c. Asas kewarganegaraan tunggal adalah asas yang menentukan satu kewarganegaraan bagi setiap orang.
d. Asas kewarganegaraan ganda terbatas adalah asas yang menentukan kewarganegaraan ganda bagi anak-anak sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam undang-undang.
Undang-undang No. 12 Tahun 2006 pada dasarnya tidak mengenal kewarganegaraan ganda ataupun tanpa kewarganegaraan. Kewarganegaraan ganda yang diberikan kepada anak dalam undang-undang ini merupakan suatu pengecualian.